Indonesia
merupakan negara kepulauan tempat bertemunya tiga lempeng besar, yaitu lempeng
Indo-Australia, Lempeng Eurasia dan Lempeng Pasifik. Interaksi antar
lempeng-lempeng tersebut lebih lanjut menempatkan Indonesia sebagai wilayah
yang memiliki aktivitas kegunungapian dan kegempabumian yang cukup tinggi.
Permasalahannya adalah sudahkah masyarakat mengenal dengan
baik berbagai jenis dan karakter bahaya alam tersebut dan siapkah mereka mengantisipasinya. Berbagai bentuk gejala alam yang terjadi di
Indonesia adalah gempa bumi, banjir, lumpur panas, kebakaran hutan dan gunung
meletus. Potensi
bencana alam yang tinggi yang dimiliki wilayah-wilayah di Indonesia pada
dasarnya merupakan refleksi dari kondisi geografis yang sangat khas untuk
wilayah tanah Indonesia. Beberapa faktor penyebab utama timbulnya banyak korban
akibat bencana gempa adalah karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang
bencana dan kurangnya kesiapan masyarakat dalam mengantisipasi bencana
tersebut. Khusus untuk gempa bumi korban yang meninggal banyak terjadi karena
tertimpa reruntuhan akibat bangunan yang roboh.
Budaya
mitigasi berbasis kearifan lokal disarankan dibangun sejak dini dalam diri
setiap elemen masyarakat untuk mewujudkan masyarakat yang berdaya sehingga
dapat meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Dalam khasanah pustaka pengurangan risiko bencana yang dipaparkan dalam Strategi Internasional
untuk Pengurangan
Bencana (International
Strategy for Disaster Reduction/ISDR),
ada empat argumen dasar yang mendukung pentingnya kearifan lokal yaitu (1) Berbagai
praktik dan strategi spesifik masyarakat asli yang terkandung di dalam kearifan
lokal, yang telah
terbukti sangat berharga dalam menghadapi bencana-bencana alam, dapat ditransfer dan diadaptasi oleh
komunitas-komunitas lain yang menghadapi situasi serupa, (2) Pemaduan kearifan lokal ke dalam praktik-praktik dan
kebijakan-kebijakan
yang ada akan mendorong partisipasi masyarakat yang terkena bencana dan
memberdayakan para anggota masyarakat untuk mengambil peran utama dalam semua kegiatan pengurangan risiko bencana., (3) Informasi
yang terkandung di dalam kearifan lokal dapat membantu
meningkatkan pelaksanaan proyek dengan memberikan informasi
yang berharga tentang konteks setempat, (4) Cara penyebarluasan kearifan lokal yang bersifat non-formal memberi sebuah contoh yang baik
untuk upaya pendidikan lain dalam hal pengurangan risiko bencana
Semenjak terjadinya gempa bumi di Sumatera Barat yang meluluhlantakkan sebagian daerahnya khususnya Padang dan Pariaman, masyarakat diingatkan kembali akan kemampuan beberapa rumah adat Minangkabau ini untuk bertahan dari sifat destruktif gempa. Ironi ini menurut Watson (ISDR, 2009:32) memperlihatkan bahwa satu praktek kearifan lokal saja tidak dapat berperan banyak dalam mengurangi risiko bencana. Kedua, terbukti bahwa ketika yang tradisional digeser oleh yang modern, masyarakat dapat menjadi lebih rentan terhadap risiko bencana. Deforestasi juga membuat keadaan makin parah. Kayu keras yang diperlukan untuk membangun rumah tradisional sekarang makin sulit didapatkan. Akibatnya, pelbagai metode dan teknik pembangunan rumah tradisional secara perlahan mulai dilupakan orang karena beton dan batu bata telah menggantikan kayu sebagai bahan bangunan. Alesyanti (2003;335) dalam disertasinya juga menyatakan sebagian masyarakat Minangkabau dalam kenyataannya mengalami proses pelapukan identitas dan jati diri. Terdapat suatu gambaran yang menyedihkan, dimana spirit dan ruh ke-Minang-an anak nagari semakin lama semakin memudar. Proses sosialisasi di dalam keseharian masyarakat, semakin diwarnai oleh nilai-nilai asing. Berdasarkan fenomena alam yang terjadi, manusia haruslah memahami mekanisme kejadian alam dengan merencanakan dan mengelola cara yang dapat mengurangi akibat dari bencana alam tersebut. Salah satunya adalah kearifan arsitektur rumah gadang dalam mitigasi bencana.
Arsitektur Rumah Gadang Minangkabau sebagai
kearifan lokal dalam mitigasi bencana adalah pertama pemilihan lahan untuk perumahan memilih tempat yang datar,
kedua denah bangunan yang berbentuk persegi panjang menjadi massa bangunan yang
cukup ideal dan stabil apabila terjadi gempa, ketiga semua sambungan komponen
struktur bangunan rumah gadang menggunakan sistem pasak, keempat kemiringan pada kolom/ badan rumah gadang dimaksudkan agar
gaya yang bekerja pada struktur bangunan rumah gadang lebih stabil dan kokoh,
kelima material yang berstruktur ringan, keenam susunan segitiga pada atap
membentuk struktur yang stabil dan kokoh, ketujuh pondasi
rumah gadang tidak tertanam ke dalam tanah, dan terakhir ke delapan bentuk atap
yang lancip berguna untuk membebaskannya dari endapan air hujan pada ijuk yang
berlapis-lapis, sehingga air hujan yang betapapun sifat curahnya, akan meluncur
dengan cepat pada atapnya. Hal ini menunjukkan bahwa bangunan Rumah Gadang
merupakan suatu karya arsitektur yang seimbang dan disesuaikan dengan iklim
alam yang tropis dan geologi yang labil. Masyarakat Minangkabau sejak dahulu
juga tumbuh dengan arif menyikapi lingkungan di sekitar mereka.
Daftar
Pustaka
Strategi
International untuk Pengurangan Bencana (ISDR). 2008. Kearifan Lokal dalam
Pengurangan Risiko Bencana: Praktik-praktik yang Baik dan Pelajaran yang Dapat
Dipetik dari Pengalamanpengalaman di Kawasan Asia-Pasifik. Universitas Kyoto –
Universitas Eropa
Mutakin, Awan.
(2008). Individu, Masyarakat dan Perubahan Sosial.Bandung. Universitas Pendidikan
Indonesia press
Koentjaraningrat.
(2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta. Rineka Cipta
Syamsidar. (1991).
Arsitektur Tradisional Daerah Sumatera Barat. Dekdikbud
Ernawi, I. S.
(2009)‘Kearifan Lokal Dalam Perspective Penataan Ruang’, Prosiding Seminar
Nasional Kearifan Lokal Dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan,
Teknik Arsitektur Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009
Sumaatmadja,
Nursid. (2010). Manusia dalam Konteks Sosial, Budaya dan Lingkungan Hidup.
Bandung. Alfabeta
Maryani, E (2011).
Pengembangan Pembelajaran IPS untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial. Bandung :
Alfabeta
Triyadi,Sugeng,
Iwan Sudradjat dan Andi Harapan. 2010. Kearifan Lokal pada Bangunan Rumah
Vernakular di Bengkulu dalam Merespon Gampa; Studi Kasus: Rumah Vernakular di
Desa Duku Ulu. Local Wisdom Vol. II, No. 1, hal: 1-7
Maryani. 2007.
Model Sosialisasi Mitigasi pada Masyarakat Daerah rawan Bencana di Jawa Barat.
UPI