KONSEP, LANDASAN DAN TUJUAN PENDIDIKAN PANCASILA
A.Konsep dan Urgensi Pendidikan Pancasila
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa sudah terwujud dalam kehidupan bermasyarakat sejak sebelum Pancasila sebagai dasar negara dirumuskan dalam satu sistem nilai. Sejak zaman dahulu, wilayah-wilayah di nusantara ini mempunyai beberapa nilai yang dipegang teguh oleh masyarakatnya, sebagai contoh:
1. Percaya kepada Tuhan dan toleran,
2. Gotong royong,
3. Musyawarah,
4. Solidaritas atau kesetiakawanan sosial, dan sebagainya.
Manifestasi prinsip gotong royong dan solidaritas secara konkret dapat dibuktikan dalam bentuk pembayaran pajak yang dilakukan warga negara atau wajib pajak. Alasannya jelas bahwa gotong royong didasarkan atas semangat kebersamaan yang terwujud dalam semboyan filosofi hidup bangsa Indonesia “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Konsekuensinya, pihak yang mampu harus mendukung pihak yang kurang mampu, dengan menempatkan posisi pemerintah sebagai mediator untuk menjembatani kesenjangan. Pajak menjadi solusi untuk kesenjangan tersebut. Nilai-nilai Pancasila berdasarkan teori kausalitas yang diperkenalkan Notonagoro (kausa materialis, kausa formalis, kausa efisien, kausa finalis), merupakan penyebab lahirnya negara kebangsaan Republik Indonesia, maka penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila dapat berakibat terancamnya kelangsungan negara.
Munculnya permasalahan yang mendera Indonesia, memperlihatkan telah tergerusnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, perlu diungkap berbagai permasalahan di negeri tercinta ini yang menunjukkan pentingnya mata kuliah pendidikan Pancasila.
1. Masalah Kesadaran Perpajakan Kesadaran perpajakan menjadi permasalahan utama bangsa, karena uang dari pajak menjadi tulang punggung pembiayaan pembangunan. APBN 2016, sebesar 74,6 % penerimaan negara berasal dari pajak. Masalah yang muncul adalah masih banyak Wajib Pajak Perorangan maupun badan (lembaga/instansi/perusahaan/dan lain-lain) yang masih belum sadar dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Laporan yang disampaikan masih belum sesuai dengan harta dan penghasilan yang sebenarnya dimiliki, bahkan banyak kekayaannya yang disembunyikan. Masih banyak warga negara yang belum terdaftar sebagai Wajib Pajak, tidak membayar pajak tetapi ikut menikmati fasilitas yang disediakan oleh pemerintah.
2. Masalah Korupsi Masalah korupsi sampai sekarang masih banyak terjadi, baik di pusat maupun di daerah. Transparency Internasional (TI) merilis situasi korupsi di 188 negara untuk tahun 2015. Berdasarkan data dari TI tersebut, Indonesia masih menduduki peringkat 88 dalam urutan negara paling korup di dunia.
3. Masalah Lingkungan Indonesia dikenal sebagai paru-paru dunia. Namun dewasa ini, citra tersebut perlahan mulai luntur seiring dengan banyaknya kasus pembakaran hutan, perambahan hutan menjadi lahan pertanian, dan yang paling santer dibicarakan, yaitu beralihnya hutan Indonesia menjadi perkebunan. Selain masalah hutan, masalah keseharian yang dihadapi masyarakat Indonesia saat ini adalah sampah, pembangunan yang tidak memperhatikan ANDAL dan AMDAL, polusi yang diakibatkan pabrik dan kendaraan yang semakin banyak. Hal tersebut menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap kelestarian lingkungan masih perlu ditingkatkan. Peningkatan kesadaran lingkungan tersebut juga merupakan perhatian pendidikan Pancasila.
4. Masalah Disintegrasi Bangsa Demokratisasi mengalir dengan deras menyusul terjadinya reformasi di Indonesia. Disamping menghasilkan perbaikan-perbaikan dalam tatanan Negara Republik Indonesia, reformasi juga menghasilkan dampak negatif, antara lain terkikisnya rasa kesatuan dan persatuan bangsa. Sebagai contoh acapkali mengemuka dalam wacana publik bahwa ada segelintir elit politik di daerah yang memiliki pemahaman yang sempit tentang otonomi daerah. Mereka terkadang memahami otonomi daerah sebagai bentuk keleluasaan pemerintah daerah untuk membentuk kerajaan-kerajaan kecil. Implikasinya mereka menghendaki daerahnya diistimewakan dengan berbagai alasan. Bukan itu saja, fenomena primordialisme pun terkadang muncul dalam kehidupan masyarakat. Beberapa kali Anda menyaksikan di berbagai media massa yang memberitakan elemen masyarakat tertentu memaksakan kehendaknya dengan cara kekerasan kepada elemen masyarakat lainnya. Berdasarkan laporan hasil survei Badan Pusat Statistik di 181 Kabupaten/Kota, 34 Provinsi dengan melibatkan 12.056 responden sebanyak 89,4 % menyatakan penyebab permasalahan dan konflik sosial yang terjadi tersebut dikarenakan kurangnya pemahaman dan pengamalan nilai-nilai Pancasila (Dailami, 2014:3).
5. Masalah Dekadensi Moral Dewasa ini, fenomena materialisme, pragmatisme, dan hedonisme makin menggejala dalam kehidupan bermasyarakat. Paham-paham tersebut mengikis moralitas dan akhlak masyarakat, khususnya generasi muda. Fenomena dekadensi moral tersebut terekspresikan dan tersosialisasikan lewat tayangan berbagai media massa. Perhatikan tontonan-tontonan yang disuguhkan dalam media siaran dewasa ini. Begitu banyak tontonan yang bukan hanya mengajarkan kekerasan, melainkan juga perilaku tidak bermoral seperti pengkhianatan dan perilaku pergaulan bebas. Bahkan, perilaku kekerasan juga acapkali disuguhkan dalam sinetron-sinetron yang notabene menjadi tontonan keluarga. Sungguh ironis, tayangan yang memperlihatkan perilaku kurang terpuji justru menjadi tontonan yang paling disenangi. Hasilnya sudah dapat ditebak, perilaku menyimpang di kalangan remaja semakin meningkat.
6. Masalah Narkoba Dilihat dari segi letak geografis, Indonesia merupakan negara yang strategis. Namun, letak strategis tersebut tidak hanya memiliki dampak positif, tetapi juga memiliki dampak negatif. Sebagai contoh, dampak negatif dari letak geografis, dilihat dari kacamata bandar narkoba, Indonesia strategis dalam hal pemasaran obat-obatan terlarang. Tidak sedikit bandar narkoba warga negara asing yang tertangkap membawa zat terlarang ke negeri ini. Namun sayangnya, sanksi yang diberikan terkesan kurang tegas sehingga tidak menimbulkan efek jera. Akibatnya, banyak generasi muda yang masa depannya suram karena kecanduan narkoba. Berdasarkan data yang dirilis Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) tahun 2013, POLRI mengklaim telah menangani 32.470 kasus narkoba, baik narkoba yang berjenis narkotika, narkoba berjenis psikotropika maupun narkoba jenis bahan berbahaya lainnya. Angka ini meningkat sebanyak 5.909 kasus dari tahun sebelumnya. Pasalnya, pada tahun 2012 lalu, kasus narkoba yang ditangani oleh POLRI hanya sebanyak 26.561kasusnarkoba.
7. Masalah bertegak hukumdan keadilan, Salah satu tujuan dari gerakan reformasi adalah mereformasi sistem hukum dan sekaligus meningkatkan kualitas penegakan hukum. Memang banyak faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas penegakan hukum, tetapi faktor dominan dalam penegakan hukum adalah faktor manusianya. Konkretnya penegakan hukum ditentukan oleh kesadaran hukum masyarakat dan profesionalitas aparatur penegak hukum. Inilah salah satu urgensi mata kuliah pendidikan Pancasila, yaitu meningkatkan kesadaran hukum para mahasiswa sebagai calon pemimpin bangsa.
B.Alasan Diperlukannya Pendidikan Pancasila
Perubahan dan infiltrasi budaya asing yang bertubi-tubi mendatangi masyarakat Indonesia bukan hanya terjadi dalam masalah pengetahuan dan teknologi, melainkan juga berbagai aliran (mainstream) dalam berbagai kehidupan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan Pancasila diselenggarakan agar masyarakat tidak tercerabut dari akar budaya yang menjadi identitas suatu bangsa dan sekaligus menjadi pembeda antara satu bangsa dan bangsa lainnya.
Selain itu, dekadensi moral yang terus melanda bangsa Indonesia yang ditandai dengan mulai mengendurnya ketaatan masyarakat terhadap norma-norma sosial yang hidup dimasyarakat, menunjukkan pentingnya penanaman nilai-nilai ideologi melalui pendidikan Pancasila. Korupsi sangat merugikan keuangan negara yang dananya berasal dari pajak masyarakat. Oleh karena terjadi penyalahgunaan atau penyelewengan keuangan negara tersebut, maka target pembangunan yang semestinya dapat dicapai dengan dana tersebut menjadi terbengkalai.
Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya Pancasila diselenggarakan di perguruan tinggi untuk menanamkan nilai-nilai moral Pancasila kepada generasi penerus cita-cita bangsa. Dengan demikian, pendidikan Pancasila diharapkan dapat memperkokoh modalitas akademik mahasiswa dalam berperan serta membangun pemahaman masyarakat, antara lain:
1. Kesadaran gaya hidup sederhana dan cinta produk dalam negeri,
2. Kesadaran pentingnya kelangsungan hidup generasi mendatang,
3. Kesadaran pentingnya semangat kesatuan persatuan (solidaritas) nasional,
4. Kesadaran pentingnya norma-norma dalam pergaulan,
5. Kesadaran pentingnya kesahatan mental bangsa,
6. Kesadaran tentang pentingnya penegakan hukum,
7. Menanamkan pentingnya kesadaran terhadap ideologi Pancasila.
Penanaman dan penguatan kesadaran nasional tentang hal-hal tersebut sangat penting karena apabila kesadaran tersebut tidak segera kembali disosialisasikan, diinternalisasikan, dan diperkuat implementasinya, maka masalah yang lebih besar akan segera melanda bangsa ini, yaitu musnahnya suatu bangsa (meminjam istilah dari Kenichi Ohmae, 1995 yaitu, the end of the nation-state). Punahnya suatu negara dapat terjadi karena empat “I”, yaitu industri, investasi, individu, dan informasi (Ohmae, 2002: xv).
Dalam rangka menanggulangi keadaan tersebut, pemerintah telah mengupayakan agar pendidikan Pancasila ini tetap diselenggarakan di perguruan tinggi. Meskipun pada tataran implementasinya, mengalami pasang surut pemberlakuannya, tetapi sejatinya pendidikan Pancasila harus tetap dilaksanakan dalam rangka membentengi moralitas bangsa Indonesia. Dengan demikian, tanggung jawab berada di pundak perguruan tinggi untuk mengajarkan nilai-nilai Pancasila sebagai amanat pembukaan UndangUndang Dasar 1945 yang menekankan pentingnya mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal ini, kecerdasan tidak hanya mencakup intelektual, tetapi juga mencakup pula kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual yang menjadi dasar bagi pengembangan kecerdasan bangsa dalam bentuk kecerdasan ideologis.
Pendidikan Pancasila sangat penting diselenggarakan di perguruan tinggi. Berdasarkan SK Dirjen Dikti No 38/DIKTI/Kep/2002, Pasal 3, Ayat (2) bahwa kompetensi yang harus dicapai mata kuliah pendidikan Pancasila yang merupakan bagian dari mata kuliah pengembangan kepribadian adalah menguasai kemampuan berpikir, bersikap rasional, dan dinamis, serta berpandangan luas sebagai manusia intelektual dengan cara mengantarkan mahasiswa:
1. agar memiliki kemampuan untuk mengambil sikap bertanggung jawab sesuai hati nuraninya;
2. agar memiliki kemampuan untuk mengenali masalah hidup dan kesejahteraan serta cara-cara pemecahannya;
3. agar mampu mengenali perubahan-perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan seni;
4. agar mampu memaknai peristiwa sejarah dan nilai-nilai budaya bangsa untuk menggalang persatuan Indonesia.
Pendidikan Pancasila sebagai bagian dari pendidikan nasional, mempunyai tujuan mempersiapkan mahasiswa sebagai calon sarjana yang berkualitas, berdedikasi tinggi, dan bermartabat agar:
1. menjadi pribadi yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2. sehat jasmani dan rohani, berakhlak mulia, dan berbudi pekerti luhur;
3. memiliki kepribadian yang mantap, mandiri, dan bertanggung jawab sesuai hari nurani;
4. mampu mengikuti perkembangan IPTEK dan seni; serta
5. mampu ikut mewujudkan kehidupan yang cerdas dan berkesejahteraan bagi bangsanya.
Secara spesifik, tujuan penyelenggaraan Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi adalah untuk:
1. memperkuat Pancasila sebagai dasar falsafah negara dan ideologi bangsa melalui revitalisasi nilai-nilai dasar Pancasila sebagai norma dasar kehidupan bermasyarakat,berbangsa, dan bernegara.
2. memberikan pemahaman dan penghayatan atas jiwa dan nilai-nilai dasar Pancasila kepada mahasiswa sebagai warga negara Republik Indonesia, dan membimbing untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
3. mempersiapkan mahasiswa agar mampu menganalisis dan mencari solusi terhadap berbagai persoalan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara melalui sistem pemikiran yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945.
4. membentuk sikap mental mahasiswa yang mampu mengapresiasi nilainilai ketuhanan, kemanusiaan, kecintaan pada tanah air, dan kesatuan bangsa, serta penguatan masyarakat madani yang demokratis, berkeadilan, dan bermartabat berlandaskan Pancasila, untuk mampu berinteraksi dengan dinamika internal daneksternal masyarakat bangsa Indonesia (Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan, 2013: viii).
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan dalam pasal 35 ayat (3) UndangUndang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012, ditegaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan Pancasila di perguruan tinggi itu wajib diselenggarakan dan sebaiknya diselenggarakan sebagai mata kuliah yang berdiri sendiri dan harus dimuat dalam kurikulum masing-masing perguruan tinggi. Dengan demikian, keberadaan mata kuliah pendidikan Pancasila merupakan kehendak negara, bukan kehendak perseorangan atau golongan, demi terwujudnya tujuan negara.
C. Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Politik Pendidikan Pancasila
1. Sumber Historis Pendidikan Pancasila
Presiden Soekarno pernah mengatakan, ”Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.” Pernyataan tersebut dapat dimaknai bahwa sejarah mempunyai fungsi penting dalam membangun kehidupan bangsa dengan lebih bijaksana di masa depan. Hal tersebut sejalan dengan ungkapan seorang filsuf Yunani yang bernama Cicero (106-43SM) yang mengungkapkan, “Historia Vitae Magistra”, yang bermakna, “Sejarah memberikan kearifan”. Pengertian lain dari istilah tersebut yang sudah menjadi pendapat umum (common-sense) adalah “Sejarah merupakan guru kehidupan”. Implikasinya, pengayaan materi perkuliahan Pancasila melalui pendekatan historis adalah amat penting dan tidak boleh dianggap remeh guna mewujudkan kejayaan bangsa di kemudian hari. Melalui pendekatan ini, mahasiswa diharapkan dapat mengambil pelajaran atau hikmah dari berbagai peristiwa sejarah, baik sejarah nasional maupun sejarah bangsa-bangsa lain.
Dalam peristiwa sejarah nasional, banyak hikmah yang dapat dipetik, misalnya mengapa bangsa Indonesia sebelum masa pergerakan nasional selalu mengalami kekalahan dari penjajah? Jawabannya antara lain karena perjuangan pada masa itu masih bersifat kedaerahan, kurang adanya persatuan, mudah dipecah belah, dan kalah dalam penguasaan IPTEKS termasuk dalam bidang persenjataan. Hal ini berarti bahwa apabila integrasi bangsa lemah dan penguasaan IPTEKS lemah, maka bangsa Indonesia dapat kembali terjajah atau setidak-tidaknya daya saing bangsa melemah. Implikasi dari pendekatan historis ini adalah meningkatkan motivasi kejuangan bangsa dan meningkatkan motivasi belajar Anda dalam menguasai IPTEKS sesuai dengan prodi masing-masing.
2. Sumber Sosiologis Pendidikan Pancasila
Sosiologi dipahami sebagai ilmu tentang kehidupan antarmanusia. Di dalamnya mengkaji, antara lain latar belakang, susunan dan pola kehidupan sosial dari berbagai golongan dan kelompok masyarakat, disamping juga mengkaji masalah-masalah sosial, perubahan dan pembaharuan dalam masyarakat. Soekanto (1982:19) menegaskan bahwa dalam perspektif sosiologi, suatu masyarakat pada suatu waktu dan tempat memiliki nilai-nilai yang tertentu. Berbeda dengan bangsa-bangsa lain, bangsa Indonesia mendasarkan pandangan hidupnya dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara pada suatu asas kultural yang dimiliki dan melekat pada bangsa itu sendiri. Nilai-nilai kenegaraan dan kemasyarakatan yang terkandung dalam sila-sila Pancasila bukan hanya hasil konseptual seseorang saja, melainkan juga hasil karya besar bangsa Indonesia sendiri, yang diangkat dari nilai-nilai kultural yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri melalui proses refleksi filosofis para pendiri negara (Kaelan, 2000: 13).
Bung Karno menegaskan bahwa nilai-nilai Pancasila digali dari bumi pertiwi Indonesia. Dengan kata lain, nilai-nilai Pancasila berasal dari kehidupan sosiologis masyarakat Indonesia. Pernyataan ini tidak diragukan lagi karena dikemukakan oleh Bung Karno sebagai penggali Pancasila, meskipun beliau dengan rendah hati membantah apabila disebut sebagai pencipta Pancasila.
Makna penting lainnya dari pernyataan Bung Karno tersebut adalah Pancasila sebagai dasar negara merupakan pemberian atau ilham dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Apabila dikaitkan dengan teori kausalitas dari Notonegoro bahwa Pancasila merupakan penyebab lahirnya (kemerdekaan) bangsa Indonesia, maka kemerdekaan berasal dari Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini sejalan dengan makna Alinea III Pembukaan UUD 1945. Bentuk lain mensyukuri kemerdekaan adalah dengan memberikan kontribusi konkret bagi pembangunan negara melalui kewajiban membayar pajak, karena dengan dana pajak itulah pembangunan dapat dilangsungkan secara optimal.
3. Sumber Politik Pendidikan Pancasila
Salah satu sumber pengayaan materi pendidikan Pancasila adalah berasal dari fenomena kehidupan politik bangsa Indonesia. Tujuannya agar Anda mampu mendiagnosa dan mampu memformulasikan saran-saran tentang upaya atau usaha mewujudkan kehidupan politik yang ideal sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Bukankah Pancasila dalam tataran tertentu merupakan ideologi politik, yaitu mengandung nilai-nilai yang menjadi kaidah penuntun dalam mewujudkan tata tertib sosial politik yang ideal. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Budiardjo (1998:32) sebagai berikut:
“Ideologi politik adalah himpunan nilai-nilai, idée, norma-norma, kepercayaan dan keyakinan, suatu “Weltanschauung”, yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang,atas dasar mana dia menentukan sikapnya terhadap kejadian dan problema politik yang dihadapinya dan yang menentukan tingkah laku politiknya.”
Melalui pendekatan politik ini, Anda diharapkan mampu menafsirkan fenomena politik dalam rangka menemukan pedoman yang bersifat moral yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila untuk mewujudkan kehidupan politik yang sehat. Pada gilirannya, Anda akan mampu memberikan kontribusi konstruktif dalam menciptakan struktur politik yang stabil dan dinamis.
Secara spesifik, fokus kajian melalui pendekatan politik tersebut, yaitu menemukan nilai-nilai ideal yang menjadi kaidah penuntun atau pedoman dalam mengkaji konsep-konsep pokok dalam politik yang meliputi negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policy), dan pembagian (distribution) sumber daya negara, baik di pusat maupun di daerah. Melalui kajian tersebut, Anda diharapkan lebih termotivasi berpartisipasi memberikan masukan konstruktif, baik kepada infrastruktur politik maupun suprastruktur politik.
D. Dinamika dan Tantangan Pendidikan Pancasila
1. Dinamika Pendidikan Pancasila
Sebagaimana diketahui, pendidikan Pancasila mengalami pasang surut dalam pengimplementasiannya. Apabila ditelusuri secara historis, upaya pembudayaan atau pewarisan nilai-nilai Pancasila tersebut telah secara konsisten dilakukan sejak awal kemerdekaan sampai dengan sekarang. Namun, bentuk dan intensitasnya berbeda dari zaman ke zaman. Pada masa awal kemerdekaan, pembudayaan nilai-nilai tersebut dilakukan dalam bentuk pidato-pidato para tokoh bangsa dalam rapat-rapat akbar yang disiarkan melalui radio dan surat kabar. Kemudian, pada 1 Juli 1947, diterbitkan sebuah buku yang berisi Pidato Bung Karno tentang Lahirnya Pancasila. Buku tersebut disertai kata pengantar dari Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat yang sebagaimana diketahui sebelumnya, beliau menjadi Kaitjoo (Ketua) Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan).
Perubahan yang signifikan dalam metode pembudayaan/pendidikan Pancasila adalah setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada 1960, diterbitkan buku oleh Departemen P dan K, dengan judul Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia (Civics). Buku tersebut diterbitkan dengan maksud membentuk manusia Indonesia baru yang patriotik melalui pendidikan. Selain itu, terbit pula buku yang berjudul Penetapan Tudjuh Bahan-Bahan Pokok Indoktrinasi, pada tahun 1961, dengan penerbit CV Dua-R, yang dibubuhi kata pengantar dari Presiden Republik Indonesia. Buku tersebut nampaknya lebih ditujukan untuk masyarakat umum dan aparatur negara.
Tidak lama sejak lahirnya Ketetapan MPR RI, Nomor II/MPR/1978, tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) atau Ekaprasetia Pancakarsa, P-4 tersebut kemudian menjadi salah satu sumber pokok materi Pendidikan Pancasila. Selanjutnya diperkuat dengan Tap MPR RI Nomor II/MPR/1988 tentang GBHN yang mencantumkan bahwa “Pendidikan Pancasila” termasuk Pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.
Dalam rangka menyempurnakan perkuliahan pendidikan Pancasila yang digolongkan dalam mata kuliah dasar umum di perguruan tinggi, Dirjen Dikti, menerbitkan SK, Nomor 25/DIKTI/KEP/1985, tentang Penyempurnaan Kurikulum Inti Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU). Sebelumnya, Dirjen Dikti telah mengeluarkan SK tertanggal 5 Desember 1983, Nomor 86/DIKTI/Kep/1983, tentang Pelaksanaan Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Pola Seratus Jam di Perguruan Tinggi. Kemudian, dilengkapi dengan SK Kepala BP-7 Pusat tanggal 2 Januari 1984, Nomor KEP/01/BP-7/I/1984, tentang Penataran P-4 Pola Pendukung 100 Jam bagi Mahasiswa Baru Universitas/Institut/Akademi Negeri dan Swasta, menyusul kemudian diterbitkan SK tanggal 13 April 1984, No. KEP-24/BP-7/IV/1984, tentang Pedoman Penyusunan Materi Khusus sesuai Bidang Ilmu yang Diasuh Fakultas/Akademi dalam Rangka Penyelenggaraan Penataran P-4 Pola Pendukung 100 Jam bagi Mahasiswa Baru Universitas/Institut/Akademi Negeri dan Swasta.
Dampak dari beberapa kebijakan pemerintah tentang pelaksanaan Penataran P-4 tersebut, terdapat beberapa perguruan tinggi terutama perguruan tinggi swasta yang tidak mampu menyelenggarakan penataran P-4 Pola 100 jam sehingga tetap menyelenggarakan mata kuliah pendidikan Pancasila dengan atau tanpa penataran P-4 pola 45 jam. Di lain pihak, terdapat pula beberapa perguruan tinggi negeri maupun swasta yang menyelenggarakan penataran P-4 pola 100 jam bersamaan dengan itu juga melaksanakan mata kuliah pendidikan Pancasila.
Dalam era kepemimpinan Presiden Soeharto, terbit Instruksi Direktur Jenderal Perguruan Tinggi, nomor 1 Tahun 1967, tentang Pedoman Penyusunan Daftar Perkuliahan, yang menjadi landasan yuridis bagi keberadaan mata kuliah Pancasila di perguruan tinggi. Keberadaan mata kuliah Pancasila semakin kokoh dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang pada pasal 39 ditentukan bahwa kurikulum pendidikan tinggi harus memuat mata kuliah pendidikan Pancasila. Kemudian, terbit peraturan pelaksanaan dari ketentuan yuridis tersebut, yaitu khususnya pada pasal 13 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 1999, tentang Pendidikan Tinggi, jo. Pasal 1 SK Dirjen Dikti Nomor 467/DIKTI/Kep/1999, yang substansinya menentukan bahwa mata kuliah pendidikan Pancasila adalah mata kuliah yang wajib ditempuh oleh seluruh mahasiswa baik program diploma maupun program sarjana. Pada 2000, Dirjen Dikti mengeluarkan kebijakan yang memperkokoh keberadaan dan menyempurnakan penyelenggaraan mata kuliah pendidikan Pancasila, yaitu:
1) SK Dirjen Dikti, Nomor 232/U/2000, tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi,
2) SK Dirjen Dikti, Nomor 265/Dikti/2000, tentang Penyempurnaan Kurikulum Inti Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK), dan
3) SK Dirjen Dikti, Nomor 38/Dikti/Kep/2002, tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.
Seiring dengan terjadinya peristiwa reformasi pada 1998, lahirlah Ketetapan MPR, Nomor XVIII/ MPR/1998, tentang Pencabutan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa), sejak itu Penataran P-4 tidak lagi dilaksanakan.
Ditetapkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003, kembali mengurangi langkah pembudayaan Pancasila melalui pendidikan. Dalam Undang-Undang tersebut pendidikan Pancasila tidak disebut sebagai mata kuliah wajib di perguruan tinggi sehingga beberapa universitas menggabungkannya dalam materi pendidikan kewarganegaraan. Hasil survei Direktorat Pendidikan Tinggi 2004 yang dilaksanakan di 81 perguruan tinggi negeri menunjukkan kondisi yang memprihatinkan, yaitu Pancasila tidak lagi tercantum dalam kurikulum mayoritas perguruan tinggi. Kenyataan tersebut sangat mengkhawatirkan karena perguruan tinggi merupakan wahana pembinaan calon-calon pemimpin bangsa dikemudian hari. Namun, masih terdapat beberapa perguruan tinggi negeri yang tetap mempertahankan mata kuliah pendidikan Pancasila, salah satunya adalah Universitas Gajah Mada (UGM).
Dalam rangka mengintensifkan kembali pembudayaan nilai-nilai Pancasila kepada generasi penerus bangsa melalui pendidikan tinggi, pecinta negara proklamasi, baik elemen masyarakat, pendidikan tinggi, maupun instansi pemerintah, melakukan berbagai langkah, antara lain menggalakkan seminar-seminar yang membahas tentang pentingnya membudayakan Pancasila melalui pendidikan, khususnya dalam hal ini melalui pendidikan tinggi. Di beberapa kementerian, khususnya di Kementerian Pendidikan Nasional diadakan seminar-seminar dan salah satu output-nya adalah terbitnya Surat Edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Nomor 914/E/T/2011, pada tanggal 30 Juni 2011, perihal penyelenggaraan pendidikan Pancasila sebagai mata kuliah di perguruan tinggi. Dalam surat edaran tersebut, Dirjen Dikti merekomendasikan agar pendidikan Pancasila dilaksanakan di perguruan tinggi minimal 2 (dua) SKS secara terpisah, atau dilaksanakan bersama dalam mata kuliah pendidikan kewarganegaraan dengan nama Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) dengan bobot minimal 3 (tiga) SKS.
Penguatan keberadaan mata kuliah Pancasila di perguruan tinggi ditegaskan dalDownload Disini